Sabtu, 01 Agustus 2009

Bontheng sedikit terhenyak dengan kenyataan-kenyataan yang semalam Bontheng baca. Lagi-lagi tentang budaya. Tertulis di KOMPAS edisi Minggu, 19 Juli 2009, WACANA berjudul Giliran Budaya Bicara hasil goresan tangan Franki Raden.

Dalam artikel ini dituliskan secara gamblang bahwa cerita-cerita kota-kota maju dan sukses berkembang di AS diinisiatifkan dari pengembangan budaya setempat. Benar-benar hal yang sepintas sepele. Dituliskan ada dua kota kecil namun maju berkat budaya di sana, diantaranya Madison dan Toronto. Selanjutnya akan saya ulas lagi mengenai dua kota ini.

Lima tahun lalu -- Madison, adalah kota kecil di Negara Bagian Wisconsin. Memiliki jumlah penduduk 300.000 orang yang tumbuh luar biasa serta mampu menarik banyak urban ke sana. Berdasar Richard Florida dalam bukunya The Rise of the Creative Class, kota Madison memenuhi kriteria kota yang maju. Dalam buku disebutkan bahwa, untuk bisa tumbuh dan ebrkembang di era globalisasi, sebuah kota harus mampu memikat sebuah kelas masyarakat baru, yakni “kelas masyarakat kreatif”. Yang dimaksud di kelas ini antara lain kelas pebisnis, pengusaha bidang jasa, ilmu, budaya. Masyarakat akan tertarik untuk tinggal, menetap di kota jika kota tersebut memiliki banyak fasilitas dan kegiatan budaya. Kegiatan budaya tidak hanya menjadi pelepasan penat saja, namun menjadi ilham bagi produktivitas kaum di atas di bidangnya.

Yang menyebabkan kota Madison berkembang begitu cepat adalah dua hal.

1. Datangnya pelajar, mahasiswa dari segala penjuru untuk kuliah di Universitas Wisconsin sejak 1970-an.

2. Usaha seorang walikota perempuan di awal tahun 2000-an untuk mengubah total pusat kotanya dari wilayah pertokoan menjadi wilayah kebudayaan. Dengan biaya 100 jutaan dollar, wali kota mengembangkan fasilitas budaya di sekeliling Capitol Square (wilayah pemerintahan). Yang diberikan tanggung jawab untuk ini adalah arsitek handal Cecarpelli. Dengan begitu pertumbuhan ekonomi semakin melaju cepat.



Taman Botani di Madison

Kota satu ini menarik perhatian saya. Kota JAZZ adalah milik Toronto. Walikota daerah berpenduduk 3 jutaan ini melakukan kebijaksanaan yang sama. Selama empat tahun terakhir, Toronto berkembang pesat. Salah satu motivasinya adalah untuk mendatangkan wisatawan asing, domestik. Di kota ini mengalami perkembangan kebudayaan secara dinamik. Hal ini didukung penuh oleh pihak pemerintah, swasta dan masyarakat. Mereka memiliki visi sama dan paradigma yang sama.

Di kota ini salah satu yang menarik adalah didirikannya Jazz FM untuk membangkitkan minat masyarakat terhadap Jazz. Radio ini adalah radio komunitas hasil sumbangan pendengarnya. Adanya fasilitas online, Jazz FM juga mendapat bantuan dari luar Kanada. Hingga demikian Jazz music menjadi milik Toronto. Kota Jazz Dunia.

Membandingkannya dengan Indonesia masih terlalu besar dan rumit. Indonesia pernah mengalami kejayaan utamanya di Jakarta hasil ‘gubahan’ Ali Sadikin. Saya hanya ingin membandingkannya dengan Blora, kota saya tercinta.

‘Slenting-slenting’ dari obrolan sahabat-sahabat saya mengenai pariwisata Blora yang kurang di-eksplore dan kurang mampu dipublikasikan dengan baik. Kota Blora pun, tidak banyak yang tahu. Apakah kita bersama-sama sebagai generasi luhur Blora mampu meningkatkan ini? Barangkali sudah ada usaha-usaha dari berbagai pihak, saya acungi empat jempol untuk ini. Namun usahanya masih belum maksimal.

Optimalisasi minat masyarakat terhadap budaya perlu ditingkatkan. Karena dari minat masyarakat saya rasa mampu meningkatkan produktivitas masyarakat untuk membuat kotanya menjadi produktif, mampu menarik kaum-kaum kelas profesional untuk menetap di Blora. Memberikan investasi besar demi kemajuan Blora. Dan harapan selanjutnya dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat kota Blora.

Sedikit saya bercerita tentang Io, sahabat saya yang berhasil meraih juara pertama tingkat Propinsi untuk lomba Karya Tulis Sejarah : Benda Cagar Budaya. Begitu dahsyat Io mempresentasikan hasil observasinya, kerja kerasnya selama ini. Bersama Tetet dan Bu Dini yang mau hingga detik kemenangan setia mendampingi. Saya sungguh bangga. Sebuah kota yang memenuhi prinsip Richard di atas memang sulit untuk diterapkan di Blora. Tapi saya yakin, dengan upaya keras, kita bisa menjadikan Blora sebagai kota budaya yang produktif.

Pernahkah kita ingin memiliki visi sama untuk membangun Blora menjadi kota maju? Pernahkah kita membangun dari sisi budaya yang selama ini makin lama makin tersingkir? Di Singapura sekecil itu, sedikit sekali sarjananya. Lebih banyak SMK, kejuruan, Diploma yang mampu mengoptimalkan potensi mereka. Di Indonesia, begitu banyak sarjana yang hanya ingin menggantungkan nasibnya dengan bekerja menjadi karyawan bawah. Menjadi yang digaji, bukan menjadi yang menggaji. Sulit memang. Tapi awalnya saja. Bagai menanam pohon jati, dengan bibit yang susah perawatannya, namun jika ulet, sabar, hasil yang dicapai nantinya akan maksimal dan memuaskan.

Inginnya saya menjadi yang disarankan oleh Io. Menjalani studi seni tari yang sudah lama kegemaran ini saya tinggalkan untuk membangun Blora jadi kota seperti Madison dan Toronto. Kota kecil tapi besar.

Bontheng ingin memberikan semangat spiritual untuk sahabat-sahabat Bontheng yang sebentar lagi mengikuti seleksi Duta Wisata Kabupaten Blora. Semoga dapat memberikan yang terbaik dan maksimal. Semangat ya,, Bontheng mendoakanmu.



lihat cerpenku di cerpen.net