Sabtu, 18 Desember 2010

171210

Sejak senin lalu, saya mulai merasa lebih beruntung daripada orang-orang di bawah saya.

Saya pikir umur saya berhenti di skala ke-18 dari umur saya sesungguhnya. Beberapa hari sebelumnya tekanan darah saya turun, tetapi saya tidak tahu pada angka berapa. Hanya saja saya tidak merasakan sakit apa-apa. Seperti biasa saya berangkat kuliah.

Tiap hari Senin, pasti ada jam kuliah pertama di lantai 3 di ruang 3.58. Kali itu tidak ada kuliah karena dosen sedang berhalangan hadir. Ruang kelas sudah ramai teman-teman yang sibuk menyelesaikan laporan praktikum Kimia yang harus dikumpulkan sore itu juga. Ada pula yang mencicil mengerjakan laporan praktikum Fisika untuk dikumpulkan keesokkan harinya. Laporanku dipinjam Wahyu, kawan akrab sekelompok praktikum di mana-mana.

Hari itu saya sedang mengalami hari pertama menstruasi. Sakit perut adalah hal yang biasa untuk wanita. Tapi kali itu sakitnya benar-benar tak tertahankan. Sudah sakit perut, badan saya mulai mendingin. Mata saya mulai berkunang-kunang dan mulai gelap. Saya pikir sebaiknya saya tidur sejenak saja. Lalu saya tidur di kursi sambil duduk. Ternyata rasa sakit dan kunang-kunang di mata saya tidak sembuh juga.

Saya sms Nana, sahabat saya yang sedang berada jauh di pojok kelas.

“Na, aku nggak kuat.”

Lalu saya minta diantar pulang ke kos dulu untuk istirahat. Nana segera membereskan laporannya ke dalam tas. Namun, ternyata sakit ini semakin cepat dan mendahului kesigapan teman saya.

Dalam sekejap, sakit perut ini menghilang dan digantikan kepala pusing. Kemudian saya rasakan badan saya memanas dari kaki ke kepala. Jilbab saya rasanya panas. Lalu dalam sekejap lagi rasa dingin menjalar menggantikan panas dari kaki ke kepala lagi. Mata saya berkunang-kunang hebat. Teman saya ribut mengira saya dalam keadaan pucat sekali. Otomatis saya pun panik sendiri tapi tak bisa berbuat apa-apa.

Saya takut menengok pintu ruang kelas. Saya takut kalau hari yang telah ditentukan untuk saya ternyata tiba hari itu juga. Saya takut semua cerita guru ngaji saya sewaktu kecil terjadi sebenarnya pada hari itu. Saya takut. Saya hanya bisa menunduk dan menunggu rasa sakit ini sembuh.

Badan saya melemas, saya tidak punya daya lagi untuk menggerakkan tubuh saya sendiri. Makin lama, saya makin tidak sadar. Lalu seorang teman saya menggendong saya keluar dari ruangan diikuti teman-teman perempuan yang lain. Akhirnya saya dibawa ke depan lift dan dibaringkan di meja. Karena tangan dan kaki saya terlalu dingin dan kaku, teman saya memegang dan memijat tangan dan kaki saya.

Lalu petugas perlengkapan menyarankan untuk langsung dibawa ke GMC (Gama Medical Centre). Beberapa tangan memegang tubuh saya yang katanya berat itu. Mata saya menutup, tapi saya mendengar orang-orang ribut di sekitar saya. Saya ternyata digendong masuk ke dalam lift dan entahlah.

Saya cukup terpejam dan menahan sakit serta lemas.

Cahyo bilang saya harus sabar. Suaranya terdengar dekat dari kepala saya.

Di GMC saya dibawa ke ruang periksa. Nana menemani saya di dalam bilik. Saya kesakitan menahan sakit perut yang makin menjadi. Saya nggak punya tenaga lagi waktu itu. Beberapa obat dimasukkan ke dalam mulut saya. Saya harus menunggu sampai sakit ini sembuh.

Saking sakitnya, saya tidak bisa tidur untuk sekedar lupa dengan rasa sakit ini. Kalau biasanya, sakit ini segera sembuh setelah saya bangun dari tidur saya. Tapi untuk kali itu tidak. Obatnya lama sekali bereaksi atau karena waktu yang berlalu sangat lambat, saya tidak tahu.

Tahu-tahu saya trtidur dan ketakutan saya menghilang.

Saya belum diperbolehkan pulang karena ternyata tekanan darah saya di angka 70/50. untuk itu saya berbaring lebih lama lagi. Kira-kira satu jam, tensi sya diperiksa lagi hanya naik 80/55. harus naik 20 lagi untuk mencapai normal minimal.

Makan roti Nana, udah. Minum teh anget sudah. Dokter menyuruh Nana membelikan kopi supaya tensi saya cepat naik.

Ketika saya sudah bisa bangun, saya belum diperbolehkan pulang karena tensi saya masih 80. untuk itu harus menunggu sejam lagi untuk dicek.

Saya tidak mau rawat inap. Di samping saya berlalu lalang orang kecelakaan yang membuat saya takut. Saya tidak mau diinfus untuk kedua kalinya. Saya tidak mau. Saya takut.

Terakhir kali dicek setelah minum kopi, tensi saya Cuma naik jadi 90 saja.

Ketika saya pulang ke kos, saya cerita semua hal yang terjadi hari itu ke teman kos saya.

“Nit, kok kamu untung, nggak bablas. Kalo orang tensinya 70 dan semakin ke bawah itu dia cepet buat bablasnya.”

Saya memang akhir-akhir ini banyak tertekan. Dan saya lebih sering merasa sendirian, sendirian buat menghadapi ini. Mbak Kalis berkata “Nduk, Nduk. Pas kowe duwe masalah sing abote koyo ngene kok pas kowe gak duwe pacar.”

lihat cerpenku di cerpen.net