Minggu, 28 Februari 2010

Alasan Chapter 2


“Makasih udah mau ngerti.”
“Aku nggak mau maksa kamu untuk pindah kost. Ditambah lagi.. kamu sekarang bukan orang biasa di kampus kan? Kamu anak BEM. Jaga image, jaga wibawa. Kamu beruntung. Sejak awal aku nggak berniat ikut organisasi semacam itu. Betapa beruntungnya kamu.
Lalu aku harus meneruskan pura-pura ini sampai kira-kira 3 tahun mendatang. Semoga waktu 3 tahun itu waktu yang singkat, Say. Waktu yang singkat untuk berpura-pura aku sendiri dan kamu sendiri. Waktu yang singkat pula untuk menuntut ilmu.”
Perlahan Mas Yudi menggenggam tanganku.
“Maaf..” katanya lirih.
“Kamu nggak perlu minta maaf. Asal aku boleh minta sesuatu.”
“Apa?”
“Ijinkan aku untuk dekat dengan siapa saja. Maksudku, aku mohon jangan cemburu kalau nantinya aku dekat dengan seseorang yang kuanggap mampu sedikit mengobati rinduku padamu. Karena kita tak mungkin jalan bersama, menikmati waktu kita berdua, seperti masa kita SMA dulu, karena keadaan sudah merubahnya. Jangan salahkan aku juga kalau nantinya aku lebih sering bersama orang lain daripada aku harus bersusah payah mengganggumu kalaupun ujung-ujungnya hanya mendapatkan jawabanmu ‘Maaf, Say. Aku nggak bisa meluangkan waktu untukmu.’ Itu jawaban yang tak kuinginkan.”
Kami terdiam. Diantara deru motor dan mobil yang lewat di depan warung bakso. Aku tahu keruwetan lalu lintas di depan mata kami justru makin membuat pikirannya makin kalut. Aku tak bermaksud menyulitkannya. Aku hanya ingin memberikan solusi dimana aku dan Mas Yudi sama-sama mau menerima dan saling tidak merasa rugi.
Hatiku masih berdetak kencang. Aku sendiri tak percaya bisa berkata seperti itu. Mungkin keadaan yang masih belum bisa kuterima setahun terakhir, kudapatkan solusinya sekarang. Secara tiba-tiba. Respon Mas Yudi masih saja diam.
“Iya, Say. Nggak apa-apa. Tapi kita harus sama-sama terbuka ya. Sepahit apapun aku tahu kamu dekat dengan pria siapa, aku harus tahu. Siapapun pria itu, kenalkan padaku. Biarpun pria itu adalah pria yang pernah ada atau sama sekali baru dalam hidupmu. Aku harus tahu. Dan aku harus menerima kenyataan bahwa aku nggak boleh cemburu dengan pria itu. Maksudku..aku harus berterimakasih dengannya karena mau menemani kamu, kekasihku.”
“Iya, mungkin seperti itu,” aku tersenyum simpul. “Oya. Selamat sibuk ya. Selamat meraih cita-citamu untuk jadi ketua BEM. Aku mendukungmu ..... 100%. Nggak usah khawatirkan aku.”
Senyumnya mengisyaratkan rasa bersalah dan terima kasih karena aku memakluminya. Aku sudah puas dengan imbalan yang nantinya kuterima. Aku nggak perlu khawatir kucing-kucingan dekat dengan pria manapun.




Aku baru sadar. Ternyata aku masih punya rasa kesal. Ternyata dendam karena kesepian masih saja ada di hatiku. Bahkan sampai aku sukses mempertahankan pacaran sampai kami menikah. Mas Yudi masih mengendarai mobil dengan terdiam. Rupanya dia marah.
“Say, jangan marah.. aku minta maaf atas sikapku,” aku mengawali pembicaraan.
“Fuuh... maaf. Aku terlalu berlebihan menanggapi itu. Aku Cuma jenuh dengan pekerjaan dan akhirnya menyalahkanmu. Maaf ya. Aku lagi jenuh dan butuh orang di sampingku. Tapi kamu malah ditugaskan ke luar kota.”
“Say, say. Kamu aja jenuh, padahal masih banyak orang di tim kamu yang bisa menggantikan aku di samping kamu kalau kamu ke luar kota terus. Daripada aku! Sepanjang malam sendirian, nggak ada yang menemaniku di saat kamu sibuk ke luar kota,” aku meliriknya.
“Maaf....Maaf, Say. Maaf aku sering ninggalin kamu. Ini karma buatku yang sering banget ninggalin kamu sendiri di kota ini sementara aku seneng-seneng sama temen-temenku.”
“Ah, lupakan, Say. Aku mendadak mual membicarakannya,” aku diam lagi.

Sebentar saja kami sudah sampai di kantorku. Kebetulan sekali kulihat Bosku sedang celingukan, tengok kanan dan kiri mencari sesuatu di depan pintu utama kantor. Melihat mobilku sedang parkir, Bosku terlihat senang dengan mata berbinar-binar bahagia.
“Lihat Bosmu! Ketawa ketiwi nggak jelas,” kata suamiku.
“Ha...aku kan anak kesayangannya,” sahutku santai.
Begitu kami berdua turun dari mobil, wa..bahagianya Bosku melihatku ada di depan matanya.
“NDUKKK!!” teriaknya dari pintu. Beliau menghampiri kami berdua.
Kami bergegas menyusulnya. Menyalami tangan beliau.
“Eh, Nduk. Kamu ini lho! Lama banget. Ngapain saja kamu dengan Yudi?? Kata Ceking, kamu mesra-mesraan dulu di rumah,” cerocos Bosku yang berumur 58 tahun itu.
“Eh, Le. Kamu apakan anakku ini? Lama sekali. Kamu juga sih.. Gawean kok keluar kota melulu. Kapan kamu manjakan istrimu ini?? Kuwalat kan! Sekarang kau akan ditinggal istrimu selama 10 hari!”
“Iya, Pak Lik. Saya kuwalat. Tolong ya Pak Lik supaya istri saya nanti di sana ada yang jaga. Ada yang ngawasin keburu dia nanti di Blora jadi liar karena kembali ke asalnya,” kata Mas Yudi.
“Ah, beres, Le. Kamu tahu!? Di Blora bakalan ada banyak anak buah yang akan menjaga istri kamu. Tenang saja. Kamu nggak usah khawatir. Eh, ngomong-ngomong kita nggak jadi ada briefing sebentar. Karena waktu sudah mepet sekali. Aku nggak mau tim kamu nanti terlambat sampai di Blora, Nduk. Berkas yang seharusnya aku titipkan ke kamu, sekarang ada di tangan Ceking. Nanti biar kamu ambil di Ceking saja ya. Sudah, Nduk, Le. Turunkan barang kalian dan langsung masukkan mobil yang itu saja,” kata Pak Bos menunjuk sebuah mobil di ujung timur kantornya.
Kami berdua langsung tancap balik ke mobil kami untuk memindahkan barang. Dan Bosku kembali masuk kantor untuk memanggil anak buahnya yang lain supaya bersiap-siap untuk berangkat ke Blora. Katanya waktu sudah sedikit untuk membahas rencana kerja. Biar kami cepat sampai di Blora dan dibahas di sana saja.
Sampai genap jumlah anggota tim kami masuk mobil. Dan aku masih terus saja direcoki dengan barang-barang aneh yang nantinya kami bawa, termasuk dengan berkas-berkas yang kuambil dari Ceking alias Toni. Aku terang-terangan mengabaikan Mas Yudi kala itu. Maaf.
Kulihat Mas Yudi berdiri di samping Pak Bos. Mereka sama-sama gendut. Dan mereka pula sama-sama bagian dari keluargaku di kota ini. Ah, Pak Bos. Andai saja kau jadi mengawini tanteku. Benar-benar jadi anggota keluargaku. Kulambaikan tanganku pada mereka.
“I LOVE YOU,” kata Mas Yudi.
“I LOVE YOU TOO,” mungkin sahutanku tak terdengar sampai ke telinganya. Tapi, mudah-mudahan ia tahu. Kami meninggalkan mereka di kota ini.

Panasnya udara. Suntuknya aku karena tak ada obat hati. Kubuka lagi berkas-berkas titipan Pak Bos tadi. Waw..tebalnya... 35 halaman yang berisi rencana kerja selama kurang lebih 10 hari ke depan. Kubaca untuk kupersiapkan briefing di Blora nanti. Karena tebal, kuandalkan kemampuan membaca cepat. Di dalamnya ada tujuan program, alokasi dana dan waktu, bagian paling sensitif semenjak aku ikut organisasi, kemudian ada daftar nama, daftar tempat menginap, daftar tim dari kabupaten cabang perusahaan kami. Gila!
Kuteliti lagi satu persatu secara cepat di dalam mobil. rupanya agak memusingkan juga. Menjelang daftar nama tim dari kabupaten cabang, membuat aku semakin pusing dibuatnya. Terlalu banyak garis-garis membentuk tabel dan nama-nama di dalamnya. Oh..aku ingin istirahat saja. Membaca saat perjalanan memang tidak disarankan karena memang membuat pusing.
Sampai jumpa di Blora nanti. Dan kutunggu sms dari Pak Diyan untuk sebuah alamat tempat kami menginap nanti. Sambil lalu, kutinggal tidur saja.



Bersambung.....

Alasan Chapter 1

Jumat, 26 Februari 2010

Alasan

“Sayang, mau aku bantu ?” kata suamiku menawarkan bantuan.
“Sayang, terima kasih,” jawabku. Ia menghampiriku yang sedang membereskan pakaianku.
Tugas pertamaku hampir dimulai. Semenjak setahun bekerja di peruasahaan benih padi, baru kali ini aku ditugaskan ke luar kota untuk pekan panen di daerah. Padahal aku adalah seorang wanita. Jarang-jarang karyawati ditugaskan ke daerah. Gugup, memang. Tugas bersama tim untuk survey ke daerah sekaligus mempromosikan produk kami ke petani daerah.
“Sayang, kapan pulang?” sekali lagi dia mengharapku ada di sampingnya. Ah, aku terhipnotis lagi dengan tatapan matanya.
“Secepatnya, Say. Kalau tugasku sudah selesai kira-kira 10 hari lagi, aku akan pulang kembali ke pelukanmu,” kusentuh pipinya, “Gantian ya. Kan kamu udah sering ninggalin aku ke luar kota.”
Jujur saja, pekerjaanmu juga sering membuatku jenuh kau tinggalkan sendiri di kota ini. Padahal kita masih muda, dan masih banyak yang bisa kita lakukan berdua di kota ini. Sayangnya pekerjaanmu sebagai surveyor membuatku jadi sering kesepian, suamiku.
Kuingin kau tahu isi hatiku... ringtoneku berbunyi.
“Sayang, aku angkat telepon dulu ya..” kutinggalkan dia sejenak untuk mengangkat handphone di atas meja rias.
“Halo, selamat pagi.”
“Selamat pagi. Betul ini Ibu Andri?”
“Betul sekali, Pak. Maaf saya berbicara dengan siapa?”
“Saya Pak Diyan dari Rontanio cabang Blora. Kemarin saya sudah memesan penginapan untuk tim Ibu sejumlah 8 orang. Betul?”
“Iya, Pak. 2 wanita dan lainnya adalah laki-laki. Nanti bisa saya kirim sms daftar namanya, Pak.”
“Oke, Ibu. Perlu dijemput di mana? Tim kami siap menjemput.”
“Hm.. Nggak usah, Pak. Lebih baik kami langsung ke penginapannya saja. Nanti tolong kirim alamatnya lewat sms saja, Pak. Saya tahu daerah Blora.”
Sesaat 2 detik Bapak itu terdiam. “Anda...orang Blora?”
“Iya. Saya lahir di Blora.
“Baiklah. Nikmati perjalanan panjang Anda, Bu. Saya pamit dulu..”
“Terima kasih , Pak.”
“Sama-sama.” Klik. Kututup telepon itu.


“Mana, Andri?” tanya Bapak Bos meneliti wajah anak buahnya satu persati dalam kantornya.
“Aaa...barangkali mesra-mesraan dulu sama Yudi, Pak,” celetuk seorang ceking, salah satu anak buah yang menjadi anggota tim.
“Ha..ha..ha.. pinter kamu ya. Bilang saja kalau kamu pengen cepet nikah. Aku doakan kamu ketemu jodoh kamu di Blora nanti, Han,” sahut Bos.


“Haduh!!! Sayang, bannya bocor...”
“Itu artinya, kamu nggak diijinkan untuk jauh-jauhan dariku,” mulai deh Abang ngegombal.
“Iya juga sih, Say. Bantuin dong. Kalau aku telat, trus dipecat? Gimana??”
“Kalau kamu dipecat, kan masih ada aku. Kamu terlalu memikirkan pekerjaanmu. Aku nggak tahu. Sebenernya kamu berat di pekerjaan karena profesionalisme, nafkah atau sesuatu yang lain. Untuk nafkah, harusnya kamu tenang karena masih ada aku,” katanya seraya memompa ban mobil kami.
I’m so speechless.
“Ayo, berangkat. Keburu kamu dipecat lalu kamu menyalahkan aku,” katanya.
Kami berangkat ke kantorku yang tak jauh dari rumahku. Dan aku tak bicara sedikitpun.

Sebuah kertas bertuliskan pengumuman tes masuk sedang ada di tanganku. Tanganku gemetar. Ya, sekarang aku diterima di perguruan tinggi yang sama dengan Mas Yudi. Sumpah. Aku tak bisa berkata-kata. Sebentar lagi aku kuliah, sebentar lagi kutinggalkan kamar kesayanganku ini. Sebentar lagi pula aku jauh dari rumah dan keluarga.
Handphoneku berdering tanda sms masuk.

Say, gimana pengumumannya? Kamu lolos kan? [Mas Yudi]

Iya, Sayangku. Aku diterima.

Syukurlah. Selamat ya... [Mas Yudi]

Sepertinya masuk perguruan tinggi ini adalah bencana untukku. Aku jadi takut. Aku pun takut mengambil keputusan. Akankah aku harus masuk perguruan tinggi yang sama? Menjadi orang asing yang nantinya malah semakin diasingkan. Alasan itulah yang nantinya akan kudengar. Alasan itu dan lagi-lagi alasan itu yang akan memisahkan aku dengan Mas Yudi.


Beberapa bulan kemudian
“Say, aku pengen ngobrol sebentar sama kamu. Boleh?” tanya Mas Yudi saat kebetulan aku ada jauh dari kost-ku. Aku sedang belanja kebutuhanku hidup selama sebulan di toko pusat kota.
“Boleh, Say. Tapi aku sekarang lagi belanja. Gimana kalo kamu nyusul aku aja? Di toko tempat pertama kali aku ngajak kamu belanja itu.”
“O...iya. Aku nyusul ya..”
Telepon ditutup. Beberapa saat kemudian Mas Yudi sampai di toko tempatku belanja.
Segera kuselesaikan belanja dan kami pergi ke warung bakso dekat toko. Langsung saja aku menempati tempat dekat dengan jalan. Supaya aku bisa melihat-lihat kendaraan yang lewat.
Usai menghabiskan semangkuk bakso, Mas Yudi mengawali pembicaraan seriusnya.
“Say, aku minta maaf banget.”
“Emangnya kamu salah apa, Sayang?? Aku bingung.”
“Kamu masih inget setahun yang lalu??”
“Ada apa?”
“Say, maaf aku harus ngomong ini lagi. Kamu masih inget kan, sampai saat ini aku masih nge-kost di yayasan. Lalu orang-orang di sana anti sama pacaran. Sedangkan sekarang ditambah kamu sekampus sama aku. Maaf, aku masih takut memproklamirkan hubungan kita. Jadi untuk sementara kita sembunyikan status kita ya..”
Aku menghela nafas. Dugaanku tepat sekali. Akurat malah.
“Um... Sayang, sejak setahun lalu sewaktu kita menjalani hubungan jarak jauh, aku sudah menerima keputusan itu. Demi kamu, aku mau menghapus status kita di facebook. Demi kamu, aku mau nggak ikut campur apapun tentang kamu saat di sini. Ya, memang berat rasanya. Kenapa status yang harusnya orang lain tahu, malah kita sembunyikan. Dan sekarang aku pun juga harus melanjutkan itu.”
“Maaf..”
“Aku ngerti kok, Say. Aku juga nggak mau akhirnya kamu diintimidasi dengan orang-orang di sekitar kamu karena berhubungan denganku. Aku khawatir hal itu akan mempengaruhi belajar kamu di sini. Aku nggak mau akhirnya berbuntut nilai kamu nggak maksimal di sini. Dan semuanya Cuma karena aku. Aku nggak mau, Say.”
“Makasih udah mau ngerti.”
“Aku nggak mau maksa kamu untuk pindah kost. Ditambah lagi.. kamu sekarang bukan orang biasa di kampus kan? Kamu anak BEM. Jaga image, jaga wibawa. Kamu beruntung. Sejak awal aku nggak berniat ikut organisasi semacam itu. Betapa beruntungnya kamu.
Lalu aku harus meneruskan pura-pura ini sampai kira-kira 3 tahun mendatang. Semoga waktu 3 tahun itu waktu yang singkat, Say. Waktu yang singkat untuk berpura-pura aku sendiri dan kamu sendiri. Waktu yang singkat pula untuk menuntut ilmu.”


Bersambung.....

Alasan Chapter 2

Minggu, 21 Februari 2010

12 IPA 2, kelasku.

MicrosoftInternetExplorer4

12

IA. 2

Ra ‘Ilo dalam

Puisi ttg kenangan

Ilmu takkan ada habisnya, kawan

Seperti persahabatan yang abadi oleh waktu

Perjuangan seiya dan sekata untuk cita dan mimpi

Jangan lupakan untuk kebersamaan kita, Say

Dunia ini luas, & sewaktu-waktu kita kan

Bertemu dalam keadaan berbeda

Yakinlah akan masa depan

Yang menjemput

Kita nanti

RA ‘ILO

lihat cerpenku di cerpen.net