Jumat, 26 Februari 2010

Alasan

“Sayang, mau aku bantu ?” kata suamiku menawarkan bantuan.
“Sayang, terima kasih,” jawabku. Ia menghampiriku yang sedang membereskan pakaianku.
Tugas pertamaku hampir dimulai. Semenjak setahun bekerja di peruasahaan benih padi, baru kali ini aku ditugaskan ke luar kota untuk pekan panen di daerah. Padahal aku adalah seorang wanita. Jarang-jarang karyawati ditugaskan ke daerah. Gugup, memang. Tugas bersama tim untuk survey ke daerah sekaligus mempromosikan produk kami ke petani daerah.
“Sayang, kapan pulang?” sekali lagi dia mengharapku ada di sampingnya. Ah, aku terhipnotis lagi dengan tatapan matanya.
“Secepatnya, Say. Kalau tugasku sudah selesai kira-kira 10 hari lagi, aku akan pulang kembali ke pelukanmu,” kusentuh pipinya, “Gantian ya. Kan kamu udah sering ninggalin aku ke luar kota.”
Jujur saja, pekerjaanmu juga sering membuatku jenuh kau tinggalkan sendiri di kota ini. Padahal kita masih muda, dan masih banyak yang bisa kita lakukan berdua di kota ini. Sayangnya pekerjaanmu sebagai surveyor membuatku jadi sering kesepian, suamiku.
Kuingin kau tahu isi hatiku... ringtoneku berbunyi.
“Sayang, aku angkat telepon dulu ya..” kutinggalkan dia sejenak untuk mengangkat handphone di atas meja rias.
“Halo, selamat pagi.”
“Selamat pagi. Betul ini Ibu Andri?”
“Betul sekali, Pak. Maaf saya berbicara dengan siapa?”
“Saya Pak Diyan dari Rontanio cabang Blora. Kemarin saya sudah memesan penginapan untuk tim Ibu sejumlah 8 orang. Betul?”
“Iya, Pak. 2 wanita dan lainnya adalah laki-laki. Nanti bisa saya kirim sms daftar namanya, Pak.”
“Oke, Ibu. Perlu dijemput di mana? Tim kami siap menjemput.”
“Hm.. Nggak usah, Pak. Lebih baik kami langsung ke penginapannya saja. Nanti tolong kirim alamatnya lewat sms saja, Pak. Saya tahu daerah Blora.”
Sesaat 2 detik Bapak itu terdiam. “Anda...orang Blora?”
“Iya. Saya lahir di Blora.
“Baiklah. Nikmati perjalanan panjang Anda, Bu. Saya pamit dulu..”
“Terima kasih , Pak.”
“Sama-sama.” Klik. Kututup telepon itu.


“Mana, Andri?” tanya Bapak Bos meneliti wajah anak buahnya satu persati dalam kantornya.
“Aaa...barangkali mesra-mesraan dulu sama Yudi, Pak,” celetuk seorang ceking, salah satu anak buah yang menjadi anggota tim.
“Ha..ha..ha.. pinter kamu ya. Bilang saja kalau kamu pengen cepet nikah. Aku doakan kamu ketemu jodoh kamu di Blora nanti, Han,” sahut Bos.


“Haduh!!! Sayang, bannya bocor...”
“Itu artinya, kamu nggak diijinkan untuk jauh-jauhan dariku,” mulai deh Abang ngegombal.
“Iya juga sih, Say. Bantuin dong. Kalau aku telat, trus dipecat? Gimana??”
“Kalau kamu dipecat, kan masih ada aku. Kamu terlalu memikirkan pekerjaanmu. Aku nggak tahu. Sebenernya kamu berat di pekerjaan karena profesionalisme, nafkah atau sesuatu yang lain. Untuk nafkah, harusnya kamu tenang karena masih ada aku,” katanya seraya memompa ban mobil kami.
I’m so speechless.
“Ayo, berangkat. Keburu kamu dipecat lalu kamu menyalahkan aku,” katanya.
Kami berangkat ke kantorku yang tak jauh dari rumahku. Dan aku tak bicara sedikitpun.

Sebuah kertas bertuliskan pengumuman tes masuk sedang ada di tanganku. Tanganku gemetar. Ya, sekarang aku diterima di perguruan tinggi yang sama dengan Mas Yudi. Sumpah. Aku tak bisa berkata-kata. Sebentar lagi aku kuliah, sebentar lagi kutinggalkan kamar kesayanganku ini. Sebentar lagi pula aku jauh dari rumah dan keluarga.
Handphoneku berdering tanda sms masuk.

Say, gimana pengumumannya? Kamu lolos kan? [Mas Yudi]

Iya, Sayangku. Aku diterima.

Syukurlah. Selamat ya... [Mas Yudi]

Sepertinya masuk perguruan tinggi ini adalah bencana untukku. Aku jadi takut. Aku pun takut mengambil keputusan. Akankah aku harus masuk perguruan tinggi yang sama? Menjadi orang asing yang nantinya malah semakin diasingkan. Alasan itulah yang nantinya akan kudengar. Alasan itu dan lagi-lagi alasan itu yang akan memisahkan aku dengan Mas Yudi.


Beberapa bulan kemudian
“Say, aku pengen ngobrol sebentar sama kamu. Boleh?” tanya Mas Yudi saat kebetulan aku ada jauh dari kost-ku. Aku sedang belanja kebutuhanku hidup selama sebulan di toko pusat kota.
“Boleh, Say. Tapi aku sekarang lagi belanja. Gimana kalo kamu nyusul aku aja? Di toko tempat pertama kali aku ngajak kamu belanja itu.”
“O...iya. Aku nyusul ya..”
Telepon ditutup. Beberapa saat kemudian Mas Yudi sampai di toko tempatku belanja.
Segera kuselesaikan belanja dan kami pergi ke warung bakso dekat toko. Langsung saja aku menempati tempat dekat dengan jalan. Supaya aku bisa melihat-lihat kendaraan yang lewat.
Usai menghabiskan semangkuk bakso, Mas Yudi mengawali pembicaraan seriusnya.
“Say, aku minta maaf banget.”
“Emangnya kamu salah apa, Sayang?? Aku bingung.”
“Kamu masih inget setahun yang lalu??”
“Ada apa?”
“Say, maaf aku harus ngomong ini lagi. Kamu masih inget kan, sampai saat ini aku masih nge-kost di yayasan. Lalu orang-orang di sana anti sama pacaran. Sedangkan sekarang ditambah kamu sekampus sama aku. Maaf, aku masih takut memproklamirkan hubungan kita. Jadi untuk sementara kita sembunyikan status kita ya..”
Aku menghela nafas. Dugaanku tepat sekali. Akurat malah.
“Um... Sayang, sejak setahun lalu sewaktu kita menjalani hubungan jarak jauh, aku sudah menerima keputusan itu. Demi kamu, aku mau menghapus status kita di facebook. Demi kamu, aku mau nggak ikut campur apapun tentang kamu saat di sini. Ya, memang berat rasanya. Kenapa status yang harusnya orang lain tahu, malah kita sembunyikan. Dan sekarang aku pun juga harus melanjutkan itu.”
“Maaf..”
“Aku ngerti kok, Say. Aku juga nggak mau akhirnya kamu diintimidasi dengan orang-orang di sekitar kamu karena berhubungan denganku. Aku khawatir hal itu akan mempengaruhi belajar kamu di sini. Aku nggak mau akhirnya berbuntut nilai kamu nggak maksimal di sini. Dan semuanya Cuma karena aku. Aku nggak mau, Say.”
“Makasih udah mau ngerti.”
“Aku nggak mau maksa kamu untuk pindah kost. Ditambah lagi.. kamu sekarang bukan orang biasa di kampus kan? Kamu anak BEM. Jaga image, jaga wibawa. Kamu beruntung. Sejak awal aku nggak berniat ikut organisasi semacam itu. Betapa beruntungnya kamu.
Lalu aku harus meneruskan pura-pura ini sampai kira-kira 3 tahun mendatang. Semoga waktu 3 tahun itu waktu yang singkat, Say. Waktu yang singkat untuk berpura-pura aku sendiri dan kamu sendiri. Waktu yang singkat pula untuk menuntut ilmu.”


Bersambung.....

Alasan Chapter 2

0 komentar:

lihat cerpenku di cerpen.net