Sabtu, 12 Desember 2009

Aku Bingung Memilih Jalan

Hari Minggu, sebuah hari yang kunanti. Karena sudah ada janji. Menyegarkan pikiran jadi satu hal yang ingin kulakukan jika hari Minggu tiba. Kusiapkan kamera dan pengamannya ke dalam tas mungilku. Tak lupa dompet dengan uang secukupnya. Karena hari ini kami, aku dan pacar akan berangkat ke pegunungan 23 km dari rumah. Hobi fotografi akan kupuaskan disana. Obyek-obyek sudah kupastikan akan habis kuabadikan nanti.

Menjelang jam sembilan ternyata Ardi, sudah sampai di depan kost-an. Membawa kantong pinggang, tempatnya menyimpan makanan kecil. Bukan aku yang membawakan, memang. Kuisyaratkan untuk menungguku sebentar karena aku belum lengkap tanpa sepatu. Biar mau ke pegunungan tentu saja matahari takkan libur untuk bersinar nanti. Aku tak mau kulitku gosong, bahaya! Sinar UV-A dan UV-B mengincar kulit manusia.

Berangkatlah kami menuju jalan pegunungan yang lumayan jauh. Melewati beberapa hektar sawah, kemudian lewat hutan milik Perhutani, melewati rumah penduduk. Begitu terus kami lewati. Hingga kami agak lelah duduk di jok motor. Lelah juga walau hanya duduk. Sambil nge-gas Ardi tengok kanan-kiri mencari bangku yang terbuat dari semen untuk istirahat. Kemarin dia cedera tangan saat main futsal. Jadi agak lelah kalau lama-lama dia meletakkan tangannya di stang motor.

500 meter lagi ada rest area. Sampai disana ada penjual es degan yang mangkal menawarkan dagangannya. Ah, lumayan mengobati lelah dan haus. Jadinya kami turun dan istirahat di sana. Rest area ini masih di wilayah hutan pinus. Dingin sekali. Untungnya jaket dan sarung tangan tak pernah tertanggal dari tubuh dan tanganku. Setelah minum es degan-lumayan menggelitik gigiku yang kedinginan, kuingat kameraku yang sedari tadi terdiam. Kukeluarkan dia dari kurungannya. Akhirnya kau bernapas lega sekarang. Tapi sayang udaranya yang dingin mungkin membuatmu agak tidak kerasan. Baru sebentar menimangnya, tanganku digenggam Ardi.

“Pengen foto-foto kan?” tanyanya serius.

“Iya.” Aku tersenyum. “Dimana daerah yang bagus?”

“Mungkin di sana,” tunjuknya ke suatu arah masuk ke dalam hutan. Kutengok dari kejauhan ternyata di sana ada pemandangan indah. Sebuah daerah landai di tengah hutan. Pasti seru foto-foto di sana. Tangannya menarikku. Meninggalkan es degan menuju kedalaman keindahan hutan pinus.

Kami berlari terus. Mencari pinggiran daerah landai di dalam hutan pinus. Sampai disana sungguh indah. Masih ada kabut-kabut putih yang menyelimuti. Suhunya semakin rendah dibanding rest area tadi. Huf.. dingin juga rupanya. Tanganku agak bergetar memegang kameraku. Siap-siap untuk mengabadikan, Ardi sekali lagi menghalangiku mengangkat kamera. Pandangan matanya menghunjam mataku. Aku bingung. Aku takut.

“Kamu nggak suka?” tanyaku pelan. Dia membimbingku duduk di samping kirinya. Aku menurut.

“Kagumi dan kenali dulu daerah ini sebelum kamu memotretnya,” katanya kemudian sambil perlahan mengalihkan pandangan ke cakrawala luas di depan mata kami.

“Dingin ya,” genggaman tangan kirinya membuatku sadar, dia ternyata kedinginan. Tanganku yang lain beralih menyentuh kamera. Siap kuangkat lagi kameraku ke arah kabut-kabut tipis di depan, Ardi menghalanginya lagi. Tangannya yang lain menurunkan kameraku dalam genggaman. Matanya menaruh harapan dalam di mataku. Wajahku pasti serasa bingung sekarang. Diciumnya bibirku untuk menghilangkan kegelisahanku. Aku diam.

Semakin dekat wajahnya ke arah wajahku. Aku takut.

“Nin, aku ingin..” sementara matanya masih menatap mataku.

“Kamu mau kan? Bercinta.....denganku?” nafasnya memburu dan panas. Matanya menyiratkan keinginan mendalam. “Aku lama memendamnya. Aku inginkan itu. Kamu mau kan, Nin?”

Seketika kualihkan pandanganku ke arah lain. Menghindar dari tatapan matanya.

“Kita sudah lama pacaran. Sudah sepantasnya aku menginginkan dan mendapatkannya.”

Lama kami terdiam.

“Sudah 4 tahun. Hanya denganmu aku inginkan itu. Hanya denganmu aku punya rasa ini. Sudah 4 tahun lamanya, Nin. Kekasih pertama dan terakhirku.”

Kuberanikan membuka mulutku.

“Sudah berapa perempuan yang kamu ajak, Ar?”

“Cuma kamu. Aku jujur. Aku nggak bohong. Sumpah.”

“Aku terlanjur berjanji.” Spontan Ardi bingung.

“Kamu lupa, Ar? Kamu sendiri yang memintaku berjanji untuk menjaga keperawananku ini. Sampai saat ini masih. Kamu minta aku janji akan menjaganya sampai kita menikah nanti. Walau sebenarnya aku agak sangsi akan benar-benar menikah denganmu atau tidak. Aku terlanjur berjanji,” kata-kataku lirih. Kuucapkan tanpa sedikitpun memandang wajahnya.

“Kapan aku memintamu?”

“Ulang tahun kita yang ke-2. Masih ingat itu adalah ciuman pertamaku? Sekaligus ciuman pertamamu, mungkin. Aku terlanjur berjanji, Ar. Aku tak ingin melanggar janji yang kau buat demi aku tepatinya.”

Apakah kata-kataku menyakitkannya sehingga ia diam kemudian. Diam cukup lama tertunduk, melepaskan genggamannya. Jujur kurasakan aku patah hati. Aku kecewa dengan permintaannya.

“Aku ingin menikah denganmu,” kuraih tangannya, menenangkannya dalam genggamanku.

“Aku ingin menjadi perawan sampai kita menikah. Aku ingin suci sampai malam kita menjadi pasangan sah. Dan hanya kau yang boleh mengambilnya, bukan orang lain. Kututurkan aku ingin menikah denganmu. Biar begitu aku ingin suci untukmu.”

“Tatap aku,” kuminta dia menatap mataku. Ardi menoleh kuyu.

“Maaf, Ninda sayang. Aku sudah salah meminta yang bukan-bukan kepadamu. Aku sudah alpa tentang janji yang kuminta padamu. Adakah sesuatu yang dapat mengobati lukamu? Aku tahu barusan kau terluka.”

“Kamu juga mau berjanji kan?”

“Janji apa?”

“Berjanji, kalau hanya aku yang boleh meminta keperjakaanmu kelak kalau kita menikah. Sebelum kita menikah, nggak boleh satu diantara kita melanggarnya. Harus.”

Ardi mengangguk.

“Janji?”

“Iya, Sayang.”

Aku memeluknya bahagia. Erat pelukan kami saling menghangatkan hari yang dingin ini.

lihat cerpenku di cerpen.net