Senin, 10 November 2008
14 Januari_tepat sebulan sebelum Hari Valentina tiba. Bom meledak di Gedung Serba Guna sebelah kiri toserba Aryadi di Kota Sumbi. Seluruh kota bahkan negara itu mengalami sebuah musibah besar. Setelah musibah tanah anjlok di suatu daerah di dekat pegunungan.
Seorang fotografer lepas sedang beristirahat untuk melepas penatnya setelah memotret berbagai gambar yang pantas. Untuk majalah, biasanya ia menjual. Untuk koran, biasanya ia memberikannya. Begitu memang nasibnya karena ia seorang yang lepas.
Setinggi 1,5 meter di atas kepalanya sebuah pohon berbunga merah jambu. Ia senang, tersenyum. Ia bergeser ke kanan kemudian kembali lagi ke kiri. Setelah itu berada tepat di tengah-tengah kursi kayu yang didudukinya. Hanya dengan modal kamera digital pemberian temannya yang sukses di luar kota—ia bisa mengambil gambar yang menarik. Apalagi bunga yang baru saja mekar sekitar beberapa hari lalu itu tampak sangat indah.
“Dengan ini semoga mereka di rumah bahagia. Semoga mereka mengingatku slalu,” katanya. Fotografer itu kemudian mengambil dompet di celananya. Dompet yang tak ‘berisi’ selain foto-foto keluarganya. Ia teruus saja memandanginya. Tanpa kata. Foto itu ada seorang istrinya dan dua orang anaknya. Anak yang pertama sudah berumur 7 tahun. Serta anak keduanya masih berumur setahun.
Karena kelelahan fotografer itu tertidur di kursi taman. Lelah sekali rasa mendekap jantungnya yang masih berdetak cepat kelelahan. Belum ada satu foto pun yang akan disetorkan ke redaksi koran. Ia masih ingin mencari peristiwa-peristiwa yang patut diambil gambarnya.
Dalam tidurnya ia bermimpi. Mimpi yang aneh baginya. Ia tiba-tiba terbangun dari tidurnya dan segera memandangi jam di tangan kirinya. Pukul 17.00 lewat. Cukup senja baginya berada di luar rumah yang sangat jauh dari kota. Ia membereskan segala yang ia bawa dari rumah termasuk modal kamera digitalnya. Kemudian ia berjalan mengitari taman menuju jalan paling dekat menuju jurusan rumahnya.
Baru beberapa langkah menuruni tangga dari taman itu—getaran-getaran tak biasa dirasakannya dari tanah yang dipijaknya. Orang-orang yang ada di sekitarnya mengernyitkan dahi mereka baik perempuan, laki-laki. Gedung-gedung di sekitar taman itu juga mulai bergoyang. Fotografer itu memandang atap-atap lantai tertinggi gedung-gedung pencakar langit bergoyang. Ia takut. Sangat takut.
Orang-orang dari belakangnya menyerbu,
“Tuan! Nyonya! Nona! Ada apa?! Jelaskan kepadaku!” teriak fotografer itu.
“Tak ada waktu untuk menjelaskan kepdamu sekarang. Larilah! Akan ada bom yang meledak!” teriak yang lain.
Fotografer malah menyibukkan diri mengambil gambar dari kejadian itu. Ia tak sadar dalam bahaya. Itu bom! Ia goblok! Bagaimana ia akan mendapatkan uang lagi untuk keluarganya jika ia mati hari itu juga?!
Seseorang menarik lengannya dan kameranya terjatuh. Entah siapa yang menarik, yang jelas ia berbadan besar. Menarik dengan kencang. Nyaris fotografer terjatuh juga ke tanah. Ia sadar ia akan mati hari itu jika tak ada yang menolongnya. Ia juga segera menyelamatkan dirinya dari ledakan bom. Ia masih ada di beberapa puluh meter dari pusat ledakan bom. Ia harus lari sekencang-kencangnya. Bagaimana kencangnya. Harus kalau tak ingin mati!
Mobil-mobil polisi dan tim Gegana sigap mencari bom berada. Masih ada waktu beberapa detik sebelum bom meledak. Dan fotografer itu terus berlari dengan mulutnya yang komat-kamit mengucapkan syukur kepada Tuhan dan mohon ampun kepada-Nya. Hingga ia sudah berada 500 meter lebih dari sumber bom yang diperkirakan berada.
Lalu ia berbalik ke belakang. Taman yang indah serta dikelilingi oleh gedung-gedung tinggi yang ditinggali tadi sudah tampak jauh dari pandangan matanya. Tampak sangat jauh. Suasana di sekitarnya menjadi tenang. Tak segaduh tadi. Orang-orang sudah merasa aman jauh dari bom.
Fotografer itu mencari keberadaan matahari senja.
“Ya, Tuhan. Terimakasih.”
Lalu ia bergegas pulang. Walau hari itu ia tak membawa uang untuk keluarganya. Tapi ia masih bersyukur karena ia masih hidup untuk mencarikan uang untuk keluarganya besok pagi. Besok lagi. Entah dengan kamera siapa. Karena kameranya telah terjatuh dari tangannya tadi.
Lama ia berjalan dari kota dan sampailah ia di rumahnya. 500 meter dari halaman rumahnya. Ia yakin anak-anaknya telah menunggu. Apalagi istri tercintanya.
Ia segera melangkahkan kakinya ke kebun rumahnya. Namun belum sempat dirinya mengucapkan selamat petang kepada mereka...tiba-tiba....
“DUARRRRRR!!!!!!” Bom di Gedung Serba Guna itu meledak. Semuanya hangus dan banyak korban bergelimpangan termasuk si fotografer itu. Di sana sini mayat-mayat, benda hancur, polisi-polisi yang melacak, menyidik, mengevakuasi.
Ketika itu seorang anak sedang serius mendengarkan ibu gurun
Label: cerpen
0 komentar:
Posting Komentar