Selasa, 02 Agustus 2011
Sudah 4 hari ini Doni tidak masuk sekolah. Temperatur badannya tinggi dan tidak pernah sekali pun turun. Badannya yang gemuk kini sudah mulai terjadi penurunan berat badan. Sebelum demam, ia menderita batuk-batuk sebulan tak kunjung sembuh juga. Dalam kurun waktu sebulan lebih ini, Doni sudah kubawa ke dokter sebanyak 2 kali. Pertama, dokter mendiagnosa ia hanya terkena batuk biasa karena sering terkena angin dingin. Untuk kedua kalinya kubawa ke dokter, dokter mendiagnosa Doni dengan penyakit dengan nama awam ‘paru-paru basah’. “Bu, adek ini kena paru-paru basah. Kami biasa menyebutnya flek paru-paru.” “Itu penyakit apa, Dok?” “Gejala awal penyakit ini, adek mengalami batuk yang tidak kunjung sembuh. Ini penyakit dengan penyembuhan yang cukup lama. Adek nggak boleh kena angin malam, kebanyakan menghirup embun kalau pagi-pagi, apalagi kecapekan. Karena kalau adek nanti beraktivitas yang menimbulkan kelelahan, bisa-bisa daya tahan tubuh adek menurun, Bu.” Kurangkul pinggulnya yang masih gemuk itu di sampingku. Kuelus-elus lembut dan penuh kasih. “Ada pantangan makannya, Dok?” “O..jelas nggak ada, Buk. Adek tetep harus makan banyak. Hanya saja diimbangi dengan istirahat cukup dan obat-obatan yang cukup....banyak, Bu.” “Sebanyak apa, Dok? Adek kan belum pernah minum obat sebelumnya. Saya aja nggak berani ngasih obat-obat berbentuk pil atau kapsul, Dok. Mana saya tega?!” “Bu, tenang. Adek bisa sembuh kok. Awalnya memang susah mengenalkan bermacam-macam obat ke anak yang sebelumnya tidak pernah menelan pil seperti itu. Tapi percayalah, Bu. Kalau anak kita diberi pengertian, mereka pasti lambat laun mau.” Aku menata nafasku kembali. Baru sekali ini aku harus menangani orang lain dengan penyakit yang bagiku aku tak pernah mengalaminya. Bahkan, selama umurku 56 tahun ini aku tidak pernah sekali pun menemui orang yang kusayangi harus menderita penyakit saat umur mereka masih terlalu dini. “Ini bukan penyakit TBC, Bu. Ini cuma flek biasa. Ini saya beri resep obat-obat yang harus diminum Doni,” Dokter Aina menulis resep untuk Doni dengan cekatan,”obatnya tidak boleh putus dalam satu kali waktu minum obat. Ia harus minum obat secara teratur. Doni harus meminum obat sampai 6 bulan ke depan. Kalau sekali saja lupa minum, Ibu harus mengulangi lagi proses penyembuhan dari nol lagi. Begitu sampai 6 bulan berturut-turut. Nggak boleh berhenti ya, Bu,” katanya sambil menyerahkan secarik resep padaku. Ia menggenggam tanganku dengan erat. Kemudian ia keluar dari bangkunya dan menghampiri Doni. Ia setengah jongkok. “Dik Doni, mulai besok banyak istirahat dan minum obat ya. Nggak boleh rewel,” katanya. “Ngga – bo – le – le – wel,” sahut Doni mengulangi perkataan Dokter sambil mengangguk-angguk di tiap penggalan suku katanya. “Tos dulu yok!!” ajak Dokter Aina dan ia mengangkat telapak tangannya. Baru saja Doni mau membalas, ia malah batuk-batuk lagi. Lalu Doni melanjutkan tosnya dengan Dokter Aina. Kami berdua keluar dari klinik Dokter Aina dan membawa obat untuk Doni. Suamiku menunggu dengan wajah cemasnya di dalam mobil merah kami. Jemarinya mengetuk-ngetuk setir mobil. Ya Tuhan, aku merasa sangat berdosa sekali. Amanah yang seharusnya kami jaga dengan baik, sekarang sedang kugandeng tangannya. Ia terus saja batuk-batuk dan demam. Tangannya yang satu lagi menjinjing tas plastik yang berisikan obatnya yang mulai hari ini harus ia minum. Semuanya serba teratur dan kubayangkan tidak akan menyenangkan bagi putra kecilku, Doni. Sore itu Tuhan hanya berbaik hati memberikan cuaca yang cerah dan cahaya matahari senja yang memilukan. Suamiku keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk kami. Kukira ia akan menanyakan sesuatu perihal penyakit Doni tetapi ternyata tidak. Ia diam dan cukup memberiku senyumannya. Baru sampai di rumah dan aku membereskan rumah, suamiku bermain dengan Doni. Sayangnya, Doni sedang kurang enak badan. Akhirnya Doni dibimbing masuk ke dalam kamar dan suamiku menemani tidur Doni saat itu. Aku memasak makanan malam untuk mereka. Pikiranku kacau dan tidak karuan untuk saat ini. Kami terpisah untuk beberapa waktu dan ini benar kesempatan yang baik bagiku untuk menata hati sebelum merawat Doni lebih jauh ke depan. Doni suka sekali dengan sop maka malam ini kubuat sop yang lezat untuknya. Semoga makan malamnya kali ini habis. Aku berusaha mencukupi nutrisi untuknya. Lalu, kujerang air panas untuk membuat teh manis hangat untuk Doni dan suamiku. Malam ini aku ingin benar-benar memanjakan mereka, dua laki-laki penghuni rumah sederhana ini. Beberapa waktu kemudian semuanya beres. “Ayah, Doni, makan yuk!” teriakku dari ruang makan yang tidak jauh dari kamar Doni. Suaraku ternyata bergetar. Semoga suamiku tidak menyadari perubahan mentalku ini. Terlihat dari dapur, suamiku merangkul Doni ke ruang makan tempatku menyiapkan segala sesuatu untuk mereka. Sebuah meja kayu ukuran 125 x 240 cm menjadi tempatku meletakkan hidangan makan malam. Tiga kursi selalu berada rapi di tempatnya. Dua menghadap panjang meja, sedangkan yang satu lagi menghadap berlawanan dengan kursi lainnya serta sejajar dengan galon air minum. Doni duduk di kursi favoritnya di sebelah galon air minum. Biasanya saat makan, kaki Doni keduanya diangkat ke atas kursi tapi sejak ia sakit, kakinya menggantung di bawah kursi. Mungkin ia lelah atau kesakitan. Aku tidak tahu rasanya karena Doni tidak begitu lancar mengungkapkan apa yang ia maksudkan sampai ia berumur 5 tahun seperti sekarang. Sering apa yang ia katakan tidak sesuai dengan apa yang ia rasakan. Tetapi, demikian aku berusaha mengerti keadaannya. Bahasa tubuh lebih representatif daripada bahasa lisan. Melihat wajahnya yang muram dan pucat membuatku ingin menangis saja. Cahaya yang biasanya menerangi hari-hariku dan menghilangkan kepenatanku kini sedang redup. Mungkin redup karena kelalaianku, atau aku tidak memiliki alasan lain untuk semata-mata meyakinkanku bahwa penyakit ini bukanlah akibat dari kebiasaan buruk ayah biologis Doni. Suapan demi suapan nasi dan sop ayam berhasil masuk ke dalam mulutnya. Jika ia lahap makan, aku akan senang sekali. Namun, malam ini jauh lebih baik daripada malam kemarin. Kemarin Doni hanya bisa menghabiskan 13 sendok makan malamnya. Malam ini 15 sendok habis dari piringnya. Peningkatan sekecil apapun sudah bisa membuatku sedikit lega dan senang. Ponselku pagi-pagi buta sudah berbunyi saja. Jika ada telepon masuk sekitar pukul lima pagi, sudah bisa dipastikan kalau telepon itu datang dari ibu Doni, adik iparku di kota kecil yang jaraknya bisa ditempuh 4 jam perjalanan dengan mobil. “Mbak, gimana kabar Doni? Doni baik-baik aja to?” tanya adikku. “Ya nggak pa-pa sih, Dik. Tapi Doni sedang terkena penyakit flek. Obatnya cukup banyak untuk usia dia yang masih TK. Kemarin udah diperiksain ke dokter. Tapi itu bisa sembuh asal telaten kasih obat dan nggak boleh bolong satu kali pun dalam tiap waktu minum obat. Jadi penyembuhannya memang harus berlanjut terus sampai 6 bulan ke depan. Kalau udah 6 bulan, kita harus cek kesehatan paru-parunya lagi. “ “O.. ya moga-moga Doni cepet sembuh, Mbak. Aku khawatir sama dia.” “Dik, aku minta maaf ya. Mungkin aku lalai sampai-sampai dia harus sakit seperti itu. Aku nggak sengaja,” air mataku menetes di pipi. “Mbak Wik, aku udah percaya sama Mbak. Aku juga yakin kalau Mbak pasti udah merawat Doni dengan sangat baik. Mungkin ini cobaan dari Allah untuk kita.” Adikku begitu bijaknya memberiku semangat. Kumainkan gantungan ponselku. Sejenak kulirik Doni yang tertidur pulas di kamarnya. Aku merasa kasihan padanya. “Demamnya sudah turun, Mbak?” tanya adikku. “Sudah kok. Berangsur-angsur panasnya turun. Setiap waktu makan, kuhitung berapa sendok yang mampu dilahapnya. Sejak kemarin, jumlah suapannya bertambah. Aku senang,” kudengar adikku ternyata juga batuk-batuk. Mengapa mereka semua batuk-batuk? Mungkin memang musimnya atau mereka terkena penyakit yang sama? “Assalamu alaikum,” dari luar pintu terdengar seseorang mengucapkan salam. “Wa alaikumsalam,” kuputar kunci pintu depan dan pegangannya. “Mamahnya Doni...” sahut tamu itu ceria ketika kami berhadapan. “Lhoh...Bu Nita. Ada apa kemari??” aku heran melihat guru TK Doni berdiri di depan pintu rumahku. “Doni udah sembuh, Bu?” “Sini, masuk saja dulu Bu,” kuajak ia masuk ke dalam rumahku yang sederhana. Setelah menempatkan diri di posisi duduk yang paling nyaman, baru ia mulai menanyaiku tentang Doni. “Mamahnya Doni,” begitu ia dan guru lain memanggilku,”Doni sedang sakit apa ya? Kok lama banget sih nggak masuk ke sekolah.” “Tadinya Doni batuk-batuk lalu demam nggak turun-turun, Bu. Makanya saya dan Ayahnya Doni bawa dia ke dokter langganan. Jadi Doni kena flek, Bu,” sepertinya penjelasanku sudah cukup jelas dan padat. “Padahal, walaupun Doni itu berbeda sekali dari teman-temannya, ia sangat menyenangkan, Bu. Dia penurut, nggak nakal, nggak neko-neko, bahkan cenderung pendiam. Sayang sekali sampai ia harus sakit.” Kenapa pula Bu Nita menggunakan kata berbeda untuk menyebut Doni. Hatiku sedikit meleleh. “Saya itu sayang betul sama Doni. Sejak mengajar Doni, saya merasakan ketenangan di hati saya.” “Kenapa, Bu Nita?” “Dulu saya juga punya kakak laki-laki. Ia hanya selisih 2 tahun dengan saya. Dia juga punya keterbelakangan, Bu. Jadi ketika saya masuk sekolah, saya jadi pendamping untuk kakak saya. Dimanapun ada kakak saya, saya selalu menyertainya. Saya selalu jadi temannya, gurunya, bahkan ia sendiri tidak mau lepas dari saya. Kami satu sekolah sejak SD sampai SMP saja. Untuk masuk SMA, kakak saya memang mampu. Namun untuk mengejar ketertinggalan sangatlah sulit. Jadi ia tidak melanjutkan SMA. Ketika kami sama-sama dewasa, kakak saya berbicara kepada saya. ‘Dik, kalau nanti kita berpisah, gimana saya nanti? Orangtua kita sudah tidak ada, saudara yang lain pun kita tak punya. Bagaimana dengan keadaanku? Cuma kamu yang bisa merawatku, Dik.’ Benar-benar ketika itu saya menangis. Saya teringat almarhum dan almarhumah orangtua saya. Karena tidak ingin membuatnya sedih, saya hanya cukup menghiburnya. ‘Mas, sampai kapanpun, aku tetap ada buat kamu. Mau sampai aku bersuami dan berkeluarga, aku akan ngajak kamu, Mas. Sampai kapanpun. Karena Mas itu cuma satu-satunya saudaraku yang paling kusayang.’ Tapi sayang sekali, Bu,” ia menggenggam tanganku erat,” Kakak saya beberapa waktu setelah itu mengalami sakit yang parah. Lalu ia meninggal. Saat itu pun saya masih belum bersuami. Makanya, kalau saya mengajar Doni, saya sedikit tenang. Saya ingat almarhum kakak saya yang mirip dengan dia. Mereka berbeda dari yang lain. Mereka memang hanya bisa menggantungkan hidup mereka pada orang lain. Tapi, bentuk anugerah dari Alloh kepada kita adalah mereka.”
0 komentar:
Posting Komentar