Selasa, 02 Agustus 2011

BAB II : TAK BISA DEKAT LAGI


“Brrrrmmm....” pagi-pagi jam setengah 6, tiba saatnya memanaskan motor. Bukan untuk dibakar, tapi dipanaskan mesinnya supaya dalam perjalananku pulang kampung nanti aku bisa berkendara dengan lancar. Lalu kupukul-pukul pelan ban motor depan dan belakangnya. Sepertinya cukup keras untuk perjalanan jarak jauh sejauh 2 jam perjalanan nanti.

Aku masuk ke kamar lagi. Baju-baju ganti belum selesai kubereskan ke dalam tas ranselku. Untung saja aku sudah mandi bersih dan wangi sekaligus. Tapi untuk pagi yang terlalu pagi ini kuurungkan untuk dandan lebih rapi. Toh nanti jam setengah 8 aku sudah sampai di sana dan bisa mandi lagi.

Sampai semuanya sudah beres, aku berangkat.

“Bu, mau pulang dulu,” ijinku ke ibu kos.

“Iya, Mbak. Hati-hati ya,” sahut ibu kos sambil mencuci baju keluarganya.

“Iya, Bu,” sahutku sambil mengeloyor keluar dari pagar rumah kos.

Udara pagi hari Minggu menyapu wajahku. Rasanya dingin, sejuk, seperti ada tetesan air yang menyatu dengan udara hingga udara itu melekat pada kulitku. Akhirnya jadi lengket tapi sejuk rasanya. Sengaja untuk pagi ini tak kupakai sehelai kain pun sebagai pengganti masker pelindung. Biar kurasakan udara pagi yang masih bersih ini sejak cukup lama hanya bisa merasakan udara kotor dan penuh polusi di kota besar.

Bayangkan jika aku harus melewati perjalanan yang sangat melelahkan nanti. Mending kalau jalan yang kulalui nanti adalah jalan yang besar, halus, mulus, dan sepi. Bukannya sepi, tapi ramai oleh truk pengangkut material bangunan. Bukannya besar namun kecil dan sangat banyak lubangnya. Aku lebih memilih menggunakan motor karena sejelek apapun jalannya, masih bisa ditempuh dalam waktu 2 jam saja. Bandingkan dengan naik bus yang bisa memakan waktu 3 jam. Belum lagi soal irit ongkos dengan naik bus yang bisa menghabiskan 20.000 sekali jalan. Sedangkan dengan naik motor, paling mahal 15.000 bisa kupakai pergi dan pulang tanpa jalan-jalan kemana-mana.

Memang perjalanan ini cukup melelahkan. Namun, semua ini kulakukan hanya untuk bertemu adikku yang paling bungsu. Ia diasuh oleh Pakdhe Budhe yang tidak berputra. Jadi di kotanya sekarang, ia adalah anak tunggal dari Pakdhe dan Budheku bahkan sejak ia masih bayi.



Semua orang dewasa berkumpul di ruang tamu. Antara ruang tamu dan ruang keluarga hanya dipisahkan oleh sebuah lemari kayu yang besar nan tinggi serta sebuah buffet dan seperangkat televisi. Bapak, Ibu, Mbah, Pakdhe dan Budhe sedang membicarakan sesuatu. Aku dan Daud, adik pertamaku dilarang mendekat. Jadi kami berdua duduk di ruang keluarga yang hanya beralaskan tikar untuk berkumpul menonton televisi.

Sesekali terdengar suara Pakdhe. Disahuti oleh Ibu dan yang lain. Aku tidak bisa mendengar begitu jelas karena mereka semua berbisik. Justru karena itu, perasaanku tidak enak. Perlahan bulir air mataku mengalir begitu saja. Ia tergelincir tiap kali aku makin dalam membayangkan sesuatu yang buruk yang mungkin akan menimpa keluarga kami. Sungguh, semakin kubayangkan, rasanya semakin nyata kan kuhadapi.

Bapakku terbatuk-batuk sesekali. Dan kubenci ia ketika itu. Semakin mengutuknya tatkala batuknya semakin parah saja. Bukankah ia yang menyebabkan situasi ini terjadi. Semua orang dewasa berkumpul di ruang tamu dan mendiskusikan sesuatu dimana kami, yang masih kecil ini tidak diperbolehkan untuk tahu.

Dari sini, hatiku mulai mengulur benang demi benang yang kusut sejak mereka semua ada di ruang tamu. Apa kaitannya dengan adik kecilku, kemudian Bapak yang sedang sakit paru-paru parah, kakak-kakak ibuku? Mungkin adik kecilku akan diambil supaya ibu bisa merawat bapak. Mungkin adik kecilku akan dikembalikan kalau bapakku sudah sembuh total dari sakit yang kini membuatnya kurus kering. Mungkin adikku akan tetap dirawat dengan biaya Pakdhe dan Budhe.

Kalau semuanya itu mungkin terjadi, bagaimana dengan aku dan adikku? Akankah kami diperlakukan sama? Atau kami dibiarkan tinggal di sini menemani ibu dan bapak kami? Yang jelas kami akan berpisah dari adik kecil kami yang lahir beberapa bulan yang lalu. Ia tidak begitu lama tinggal bersama kami, namun sudah cukup banyak kenangan yang membuat ia menjadi adik kesayangan kami.


Hampir 2 jam berlalu, dan lihatlah di sekelilingku. Kini banyak pepohonan rindang yang berdiri kokoh. Memang ini bukanlah sebuah hutan melainkan lahan sempit yang ditanami pepohonan semacam pinus, atau tumbuhan paku lainnya. Dan sejuk bukan main ketika berada di tengah-tengahnya kala masih pagi seperti ini. Udaranya begitu bersih dan segar.

Ternyata sampai di sana ia tidak mengenaliku. Ia hanya tahu namaku saja. Nita. Cuma itu. Ia hanya tahu aku adalah kakaknya. Tapi tak sedetik pun ia mendekat walau hanya menyapa tanpa disuruh oleh ibunya.

Kulihat ia duduk menonton televisi. Pandangannya tertancap ke tayangan televisi layar cembung itu. Ia paling suka dengan tayangan yang backsound-nya berisik apalagi banyak suara anak kecil yang berisik. Tubuhnya diam dan tenang. Baru aku mendekat hanya untuk duduk di sampingnya, ia sudah beranjak pergi lari ke dapur. Aku pasrah kemudian diam dan pandanganku tak tentu arah.

“Nggak boleh gitu!!!” teriakan terdengar dari dapur bebrapa saat setelah ia di dapur bersama ibunya.

Budhe keluar dari dapur menggandeng tangannya lalu mendudukkannya di sampingku. Ia taat tanpa perlawanan sama sekali. Ia duduk membungkuk. Tangannya menyangga beban tubuh bagian atas.

“Nggak boleh gitu to.. Mbak kan kangen sama kamu. Ini kakak kandung kamu. Jadi kalo Mbak ke sini, kamu nggak boleh kemana-mana,” kian lama nada bicara Budhe semakin tinggi. Perasaanku jadi nggak enak. Baru sebentar Budhe memberi tanda titik di ujung pembicaraannya, Doni menggerutu. Ia mulai berbicara tidak jelas. Ia berbicara sekenanya saja. Anggukan demi anggukan kepala tidak berhenti sambil ia membungkuk.

“Ta, ya gitu adikmu kalo dibilangin. Bentar lagi liatin deh pasti ngeledek Budhe lagi,” kata beliau. Tak lama Doni berdiri menghadap ibunya, kepalanya tertunduk tapi tangan kanannya terangkat lalu,” NENEK NAKAL! Hmmmm NENEK! KAKEK!” kepalanya mengangguk-angguk lagi.

“Doni, duduk! Nggak boleh gitu!” telunjuk Budhe teracung.

“Ta, maaf ya. Doni kayak gitu bukan Cuma ke kamu kok. Doni kayak gitu Cuma sama temen-temen ceweknya di sekolah. Dia juga malu kalau sama tantemu. Kalau sama simbah, dia oke-oke saja karena Budhe sama Pakdhe sering ngajak Doni ke sana. Belakangan memang dia sedikit berubah. Atau mungkin karena dia menginjak remaja makanya tingkahnya berubah. Emosinya juga sering labil.”


Aku tak akan pernah bisa dekat dengannya. Semakin bertambah usia, hanya orang tua asuhnya saja yang bisa mengimbangi perubahannya yang tak menentu. Ia berbeda karena ia tidak bisa mengungkapkan apa yang di hati dan pikirannya secara jelas dan mudah dimengerti orang lain.

Sikapnya padaku sudah cukup menggambarkan segalanya. Darah kami tak berbeda jauh, terlebih tulang dan fisiologi kami mirip. Namun semua itu tidak bisa semata-mata menjadikan kami sebagai saudara yang utuh. Kami berbeda pijakan kaki, asupan gizi, perhatian, dan berbagai hal yang kami dapatkan dari orang tua yang berbeda tapi sebetulnya kami keluar dari satu rahim.

0 komentar:

lihat cerpenku di cerpen.net